Santo santa

12 Maret

Santo Theofanus, Biarawan dan Sejarahwan

Theofanus lahir di Konstantinopel (sekarang: Istambul, Turki) kira-kira pada tahun 758. Namanya dikenal luas karena perlawanannya yang gigih terhadap bidaah Ikonoklasme dan karena bukunya ‘Chronographia” yang menguraikan secara singkat sejarah dunia pada tahun 284 sampai tahun 813.


Setelah kematian ayahnya, Theofanus dikirim ke Konstantinopel. Disana ia dipaksa menikahi seorang gadis. Ketika itu ia baru berusia 12 tahun. Perkawinan ini tidak berlangsung lama. Ia bercerai dengan isterinya pada tahun 780, karena ia bercita-cita menjadi seorang biarawan. Dalam hidupnya sebagai biarawan, Theofanus dikenal sebagai seseorang yang rajin berdoa, berpuasa dan bertapa. Ia kemudian mendirikan sebuah biara pertapaan di gunung Sigrino, dekat Cyzicus, Asia Kecil dan sekaligus menjadi pemimpin biara itu.
Pada tahun 787, ia menghadiri Konsili Nicea kedua yang menegaskan kebenaran penghormatan kepada gambar-gambar Kudus. Penegasan Konsili Nicea kedua ditentang oleh Leo V, Kaisar Byzantium. Leo melancarkan kampanye perlawanan terhadap ajaran konsili yang membenarkan penghormatan pada gambar-gambar Kudus dan patung-patung. Untuk maksud itu ia berusaha memperoleh dukungan dari Theofanus. Tetapi Theofanus dengan tegas menolaknya. Akibatnya, Theofanus ditangkap dan dipenjarakan selama dua tahun lamanya; lalu dibuang ke Samothrase. Disana Theofanus meninggal dunia pada tahun 817.

Santo Gregorius I, Paus dan Pujangga Gereja

Gregorius I dikenal sebagai Paus pertama yang memaklumkan dirinya kepada dunia sebagai Kepala Gereja Katolik seluruh dunia. Ia memimpin gereja sejagat selama 14 tahun, dan dikenal sebagai seorang Paus yang masyur pada awal abad pertengahan, serta Bapa Gereja Latin yang terakhir. Ia memelihara kaum miskin dan dengan gigih melindungi mereka dari para penjahat. Ia memprakarsai pengiriman misionaris ke Inggris dan Eropa dan menulis banyak buku yang bernilai tinggi.

Gregorius lahir di Eropa pada tahun 540. Ibunya Silvia dan dua orang tantenya, Tarsilla dan Aemiliana, dihormati pula sebagai orang Kudus di dalam gereja. Ayahnya, Gordianus, tergolong orang yang kaya raya; memiliki banyak tanah di Sicilia, dan sebuah rumah indah di lembah bukit Coelian di Roma. Selama masa kanak-kanaknya, ia mengalami suasana pendudukan suku Goth, Jerman atas kota Roma; mengalami berkurangnya penduduk kota Roma dan kacaunya kehidupan kota. Meskipun demikian, Gregorius menerima suatu pendidikan yang memadai. Ia pandai sekali dalam pelajaran tata bahasa, retorik dan dialektika. Karena posisinya diantara keluarga-keluarga aristokrat (bangsawan) sangat menonjol, Gregorius dengan mudah terlibat dalam kehidupan umum kemasyarakatan, dan memimpin sejumlah kecil kantor. Pada usia 33 tahun, ia menjadi Prefek kota Roma, suatu kedudukan tinggi dan terhormat dalam dunia politik roma pada saat itu. Dua tahun kemudian ia meletakkan jabatan itu, dan mengumumkan niatnya untuk menjalani kehidupan membiara. Untuk itu ia mendirikan sebuah biara kecil di rumahnya sendiri di Coelian. Selain biara rumahnya sendiri itu, biara Santo Andreas, ia mendirikan enam biara lainnya di atas tanah milik ayahnya di Sicilia.

Meski ia menjadi seorang biarawan, seluruh waktunya tidak ia gunakan saja untuk berdoa. Ia juga aktif terlibat dalam urusan lainnya. Pada tahun 578, ia ditabhiskan sebagai diakon di Roma. Setahun kemudian Sri Paus Pelagius II (579-590) menunjuk dia sebagai duta besar untuk kekaisaran Konstantinopel. Pengalaman kerjanya selama enam tahun di Konstantinopel menyakinkan dirinya bahwa kekaisaran timur itu tidak dapat disandarkan sepenuhnya pada bantuan Roma dan kekaisaran Barat. Sekembalinya ke Roma pada tahun 586, ia dipilih menjadi Abbas biara Santo Andreas yang didirikannya. Pertemuannya dengan beberapa pemuda Inggris yang bekerja di Pasar Roma menggerakkan hatinya untuk menjadi seorang misionaris di Inggris. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada Sri Paus untuk berkarya disana. Tetapi permohonan ini ditolak oleh orang-orang Roma. Ketika Sri Paus Pelagius II meninggal dunia pada 7 Februari 590, para imam dan seluruh umat di Roma memilih dia menjadi Paus menggantikan Pelagius II. Ia memimpin gereja selama 14 tahun dari tahun 590-604.

Berbagai masalah yang melanda Gereja selama masa kepemimpinannya ditanganinya dengan bijaksana. Ia mempekerjakan pertani-petani di bawah pengawasan orang-orang yang terampil guna mengolah tanah yang diwariskan kepada Gereja. Uang iuran wajib yang diberikan petani-petani itu digunkannya untuk membantu para fakir miskin dan para pengungsi yang membanjiri kota Roma.
Sejalan dengan pelayanannya terhadap orang-orang miskin itu, ia dengan semangat melaksanakan karya pewartaan Injil dan pengajaran agama, sambil tetap melanjutkan pekerjaan menulis karya-karya yang besar. Tulisan-tulisan inilah yang membuat dia digelari sebagai ‘Pujangga Gereja”. Perhatian Gregorius terhadap pelbagai urusan tidak hanya terbatas di Roma dan Italia, tetapi juga mengjangkau wilayah-wilayah dimana Gereja telah didirikan. Ia menaruh perhatian besar kepada Uskup-uskup Perancis dan perkembangan umat disana. Dengan cermat dan tegas ia mengawasi semua aspek kegiatan Gereja. Terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam perayaan liturgi menurut kebiasaan Romawi, ia bersikap toleran. Namun ia bersikap tegas terhadap setiap pelanggaran hak-hak Paus. Pemilihan seorang Uskup baru untuk wilayah-wilayah keuskupan yang kosong harus dilakukan seturut peraturan gereja yang berlaku. Ia mewajibkan para imam untuk mempelajari dan menaati peraturan-peraturan Gereja yang melarang mereka untuk menikah. Pengaruhnya yang besar dalam negara dimanfaatkannya untuk membebaskan imam-imam dari yurisdiksi negara.

Dengan tangkas, lembut dan bijaksana, ia menangani berbagai masalah gereja yang rumit. Pengaruhnya yang besar dimanfaatkannya untuk membereskan berbagai kesulitan di semua keuskupan yang jauh dari Roma. Tanpa takut ia menegaskan hak-hak Tahkta Suci di hadapan Patriakh Kontantinopel. Keputusan-keputusan para Uskup di seluruh wilayah gerejawi, termasuk wilayah-wilayah yang ada di Patriakat Konstantinopel, harus disetujui dan disahkan oleh tahkta Suci.

Kepemimpinan Gregorius I ditandai oleh suatu kesuksesan besar yakni terciptanya hubungan baik antara negara dan gereja. Ia melihat negara dan gereja sebagai lembaga yang sama-sama didirikan oleh Allah. Oleh karena itu, keduanya harus bekerja sama dan saling mendukung dalam semangat kesatuan, meskipun harus harus tetap mengenal batas-batas wewenang masing-masing. Paus dan Kaisar sama-sama diangkat untuk melayani masyarakat Kristen yang sama. Pergolakan-pergolakan besar yang terjadi pada abad ke enam membuat Gregorius berkeyakinan bahwa negara harus bertindak sebagai kekuatan duniawi dari gereja dalam menghadapi tantangan-tantangan bidaah dan penyembahan berhala. Ia tidak memberi suatu kesempatanpun kepada para penguasa Timur dalam hal-hal yurisdiksi spiritual, walaupun ia sendiri selalu menerima kuasa sipil dari kaisar. Dalam urusan negara, Paus Gregorius menghargai kaisar Konstantinopel sebagai wakil Allah. Dia sendiri di Italia selalu tampil dalam pakaian kebesaran semi Kaisar. Kewibawaan Kaisar-kaisar pada masa itu, baik di Roma maupun di Konstantinopel sangat menurun. Hal ini mendorong Gregorius untuk menjalin hubungan dengan raja-raja Lombardia-Jerman, yang menguasai seluruh Italia Utara. Ia mengadakan perjanjian-perjanjian dengan Ariulf, raja Lombardia dari Spoleto,dan menyatakan diri sebagai pemimpin pertahanan kota. Hal ini diketahui oleh Romanus, wakil kaisar di Italia. Segera Romanus mengumpulkan sejumlah besar serdadu untuk membebaskan beberapa kota dari penguasaan orang-orang Lambordia, tanpa mengindahkan kuasa Paus dan perjanjian perdamaian yang telah diadakan dengan Ariulf. Tindakan Romanus ini menimbulkan amarah Ariulf, karena melanggar perjanjian yang telah diadakan dengan Paus. Ia berangkat ke Roma untuk membereskan persoalan itu. Paus berhasil menenangkan hatinya dan memberinya sejumlah besar uang dari kekayaan gereja bagi kepentingan pelayanan terhadap orang-orang miskin.

Setelah itu, Paus berusaha menciptakan suatu perdamaian yang langgeng dengan orang-orang Lombardia. Untuk itu ia melibatkan wakil dari kekaisaran Konstantinopel, Romawi dan Lombardia. Dalam tindakannya Paus benar-benar menampilkan diri sebagai seorang pangeran duniawi, yang mempunyai pengaruh besar diantara kaisar-kaisar. Ia berkuasa menunjuk gubernur-gubernur kota.
Sebagai seorang bekas pertapa yang menjadi Paus, Gregorius mempunyai perhatian besar terhadap perkembangan komunitas-komunitas monastik. Ia mendorong orang-orang kaya untuk mendirikan rumah-rumah biara yang baru. Ia pun membatasi pengawasan Gereja terhadap komunitas-komunitas itu, hanya dalam hal-hal hidup rohani. Dengan berbagai cara, Gregorius mendorong pertumbuhan iman umat dan perkembangan kehidupan beragama di seluruh gereja.

Salah satu prestasi terindah Gregorius adalah menggalakkan kegiatan-kegiatan misioner demi pertobatan orang-orang yang masih kafir. Ia memprakarsai dan mengarahkan misi kepada pertobatan orang-orang Inggris. Untuk itu, ia mengangkat Agustinus, pemimpin biara Santo Andreas yang didirikannya untuk memimpin misionaris-misionaris ke Inggris. Kemudian, Agustinus ditabhiskan menjadi Uskup Canterbury, Inggris. Karena para misionaris ini sangat berhasil di Inggris, mereka selanjutnya melayangkan pandangannya ke Jerman dan Skandinavia. Gregorius berusaha sekuat tenaga menumbangkan kekafiran di Perancis dan German, memberantas Arianisme di antara orang-orang Lombardia dan Visigoth. Di Afrika Utara, usaha-usaha misioner diarahkan kepada melawan heresi Donatisme yang mengajarkan bahwa sakramen-sakramen yang dilayani oleh imam-imam yang tidak pantas adalah tidak sah.

Di bidang Liturgi, Gregorius mengadakan pembaharuan besar. Lagu-lagu gereja-yang lazim dinamakan Gregorian-tercipta pada masa kePausannya. Buku perayaan Sakramen Gregorian sebagai salah satu buku liturgi Romawi purba yang dianggap sebagai karyanya. Penjelasan terhadap isi buku ini dikirimkan oleh Paus Adrianus I (772-795) kepada Kaisar dan dijadikan buku pegangan perayaan liturgi di seluruh kekaisaran. Pada tahun-tahun awal kePausannya, Gregorius menulis sebuah buku yang menguraikan tentang tugas seorang Uskup dalam mengembalai umatnya. Buku ini diterbitkan oleh Raja Alfred dalam bahasa Inggris pada abad ke sembilan. Empat buku lainnya dari Gregorius yang berjudul ‘dialog” berisi percakapannya dengan seorang muridnya. Pandangan moralnya terhadap kitab Yob terdiri dari satu seri komentar yang menerangkan buku itu secara harafiah, mistik dan moral. Buku ini secara luas dipakai sebagai buku pegangan moral Katolik selama Abad pertengahan.

Gregorius adalah seorang penulis rohani dan mistikus kenamaan. Meskipun dia bukan pengarang yang indah gaya bahasanya, namun tulisan-tulisannya sungguh bernilai tinggi dan mengandung ajaran mulia. Dia juga adalah bapak Gereja Latin yang terakhir dan tokoh penting pertama pada abad pertengahan. Salah satu kehebatannya ialah sikap toleransinya yang tinggi kepada para penganut agama Yahudi. Ia memperjuangkan hak-hak mereka akan kebebasan bertindak dalam masalah-masalah sosial-kenegaraan dan untuk melaksanakan ritus-ritus keagamaanya di dalam sinagoga-sinagoga. Semua usaha untuk membaptis mereka ditentang dengan keras. Ia benar-benar bertindak sebagai pelindung mereka ketika terjadi penganiayaan terhadap mereka dimana-mana. Karena gangguan kesehatannya, Gregorius meninggal dunia pada tahun 604. Ia dikuburkan di samping beberapa orang Paus pendahulunya dekat Sakristi Basilik Santo Petrus di Roma.

Santo Maximilianus, Martir

Anak tentara veteran Romawi ini tidak mau menjadi tentara, karena taat pada agama dan mempunyai anggapan yang negatif terhadap personil angkatan perang. Bagi dia, tentara-tentara umumnya banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat dosa dan berwatak bejat. Kepada hakim, ia berkata: “Angkatan perang saya ialah angkatan perang Tuhan. Saya tidak dapat berperang untuk kepentingan duniawi”. Ayahnya menolak desakan hakim supaya mengubah padangan puteranya itu. Waktu Max diancam hukuman mati, ia berkata lantang: “Saya tidak akan mati. Apabila saya meninggalkan dunia ini, saya akan bersatu dengan Kristus Tuhanku”. Ia mati dipenggal lehernya di pinggir kota Kartago, Tunisia pada tahun 295.

Beata Yustina dari Arezzo, Pengaku Iman

Yustina dari Arezzo yang biasa dipanggil ‘Francuccia Bizzoli” lahir di Arezzo, Italia. Pada usia 13 tahun ia masuk biara Benediktin Santo Markus di kota Arezzo. Ketika para suster pindah ke biara ‘Para Kudus”, Yustina pun turut pergi kesana. Tetapi ia kemudian meninggalkan biara itu dengan ijin superiornya, dan hidup menyepi bersama Lucia di gua Civitelle. Sel dalam gua itu sangat sempit dan rendah sehingga ia tidak bisa berdiri tegak. Ketika Lucia jatuh sakit, maka Yustina dengan setia mendampinginya siang-malam. Meskipun ia sibuk merawati Lucia namun ia tidak lupa berdoa dan tidak mengurangi kebaktian dan matiraganya. Sesudah Lucia mati, Yustina tetap tinggal disana sendirian.
Karena menjadi buta Yustina kemudian kembali ke pertapaan Arezzo. Disana ia semakin berkembang dalam kehidupan rohaninya dan menjadi seorang pertapa yang saleh. Dengan doa-doanya ia menyembuhkan banyak orang sakit. Penyembuhan ini masih juga terjadi atas diri orang-orang sakit yang berdoa dengan perantaraannya setelah ia wafat. Yustina wafat pada tahun 1319.

sumber: http://www.imankatolik.or.id/kalender/12Mar.html